Jumat, 07 Desember 2012

Pembagian Harta Pada Perkawinan Siri


Pernikahan yang merupakan ikrar dua insan manusia untuk hidup bersama, sepatutnya menjadi sebuah sarana bagi keduanya untuk mereguk kebahagiaan hidup yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan pernikahan secara siri, akan terjadi hal yang tidak adil pada pihak Wanita.

Namun yang namanya kehidupan di mana sangat banyak drama terlakon didalamnya, tidak jarang kita melihat perkawinan justru menjadi sebuah tempat di mana orang begitu tersiksa ketika berada didalamnya, yang berujung pada kesepakatan untuk tidak melanjutkannya.

Pernikahan agar dapat diakui oleh negara harus dicatat oleh lembaga yang berwajib, namun seringkali pula kita mendengar adanya 'pernikahan dibawah tangan' ataupun "nikah siri", yang mana kedua insan menikah hanya secara agama ataupun adat, namun tidak mendaftarkannya ke pemerintah dalam hal ini ke KUA ataupun kantor catatan sipil.

Belakangan, sedang ramai diperbincangkan adanya seorang pejabat pemerintah yang melakukan nikah siri dan kemudian menceraikan si istri dalam hitungan hari setelah dinikahi. Terlepas dari tanggung jawab moral tentang prilaku kurang terpuji pejabat tersebut. Yuk kita coba menelisik sebenarnya apa hak dan kewajiban pelaku nikah siri apabila dikaitkan dengan pembagian hartanya, karena kita kan sedang membahas perencanaan keuangan bukan konsultan pernikahan hehehe.

Pernikahan di Indonesia diatur dalam UU perkawinan no.1 tahun 1974. Di dalam UU diatur tentang apa saja syarat suatu perkawinan dianggap sah, dan bagaimana untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terjadi perceraian baik itu cerai hidup maupun cerai mati.

Mengapa juga perkawinan yang notabene urusan pribadi seseorang harus diatur dengan UU? UU ini tidak akan mengatur bagaimana sebuah keluarga menjalani bahtera rumah tangganya, namun lebih pada mengatur dan memberikan solusi apabila terjadi sengketa waris dan pembagian harta karena perceraian, baik itu cerai hidup maupun cerai mati.

Selain UU ini yang biasa disebut hukum positif, ada juga hukum dan aturan perkawinan berdasarkan agama maupun adat istiadat yang dianut oleh si pengantin. Hukum agama dan adat inilah yang kemudian menjadi solusi bagi orang-orang yang ingin melakukan nikah siri.

Dalam hukum negara sendiri, suatu pernikahan baru dianggap sah apabila tercatat di Kantor urusan agama bagi penganut muslim, dan di kantor catatan sipil bagi yang non muslim. Jadi orang-orang yang menikah secara siri ataupun diam-diam, mereka hanya sah menikah secara agama ataupun adat, tidak didaftarkan di KUA atau kantor catatan sipil dengan berbagai macam alasan.

Apa efeknya apabila pasangan menikah secara siri? Efeknya pertama adalah bila sepasang pria dan wanita yang belum menikah kemudian melakukan pernikahan siri dan memiliki anak, maka anak tersebut oleh negara akan berstatus sebagai anak diluar nikah. Anak dengan status ini hanya memiliki hak waris dari ayah biologisnya apabila si ayah di depan pengadilan mengakui anak tersebut sebagai anaknya.

Bila keadaannya seorang laki-laki yang sudah berkeluarga lalu memiliki istri muda yang dinikahi secara siri, maka bila si istri muda tersebut melahirkan maka anaknya menurut hukum negara disebut sebagai anak zina, yang efeknya adalah si anak tidak bisa menjadi ahli waris dari bapak biologisnya, namun memiliki hak untuk dinafkahi.

Efek kedua adalah apabila terjadi perceraian seperti yang dialami oleh pejabat tersebut, maka si istri secara hukum negara tidak berhak untuk menuntut hak pembagian harta gono-gini, karena pernikahan mereka oleh negara dianggap tidak pernah terjadi.

Kalaupun si mantan suami berbaik hati memberikan sejumlah uang kepada mantan istrinya, itu hanya sekadar tali asih ataupun sumbangan, yang besarnya mungkin tidak seberapa. Bandingkan dengan seandainya pernikahan tersebut sah secara hukum negara, maka harta gono-gini yang menjadi hak si istri adalah setengah dari kekayaan mereka setelah menikah.

Jadi sebenarnya masalah pembagian harta gono-gini maupun harta warisan sebagai akibat dari adanya perkawinan akan bisa lebih simpel apabila orang-orang yang terkait didalamnya dapat membuat kesepakatan dalam pembagiannya hartanya. Undang-undang perkawinan tersebut baru digunakan apabila tidak didapatkan ketidaksepakatan dan perselisihan dalam pembagiannya.

Andy Nugroho, CFP
MRE Financial & Business Advisory
Jl. Musi no. 33, Cideng, Jakarta Pusat
twitter: @mreindonesia