Pernikahan yang merupakan ikrar dua insan
manusia untuk hidup bersama, sepatutnya menjadi sebuah sarana bagi keduanya
untuk mereguk kebahagiaan hidup yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan pernikahan secara siri, akan terjadi hal yang tidak adil pada pihak Wanita.
Namun yang namanya kehidupan di mana sangat
banyak drama terlakon didalamnya, tidak jarang kita melihat perkawinan justru
menjadi sebuah tempat di mana orang begitu tersiksa ketika berada didalamnya,
yang berujung pada kesepakatan untuk tidak melanjutkannya.
Pernikahan agar dapat diakui oleh negara
harus dicatat oleh lembaga yang berwajib, namun seringkali pula kita mendengar
adanya 'pernikahan dibawah tangan' ataupun "nikah siri", yang mana
kedua insan menikah hanya secara agama ataupun adat, namun tidak
mendaftarkannya ke pemerintah dalam hal ini ke KUA ataupun kantor catatan
sipil.
Belakangan, sedang ramai diperbincangkan
adanya seorang pejabat pemerintah yang melakukan nikah siri dan kemudian
menceraikan si istri dalam hitungan hari setelah dinikahi. Terlepas dari
tanggung jawab moral tentang prilaku kurang terpuji pejabat tersebut. Yuk kita
coba menelisik sebenarnya apa hak dan kewajiban pelaku nikah siri apabila
dikaitkan dengan pembagian hartanya, karena kita kan sedang membahas
perencanaan keuangan bukan konsultan pernikahan hehehe.
Pernikahan di Indonesia diatur dalam UU
perkawinan no.1 tahun 1974. Di dalam UU diatur tentang apa saja syarat suatu
perkawinan dianggap sah, dan bagaimana untuk menyelesaikan sengketa waris
apabila terjadi perceraian baik itu cerai hidup maupun cerai mati.
Mengapa juga perkawinan yang notabene
urusan pribadi seseorang harus diatur dengan UU? UU ini tidak akan mengatur
bagaimana sebuah keluarga menjalani bahtera rumah tangganya, namun lebih pada
mengatur dan memberikan solusi apabila terjadi sengketa waris dan pembagian
harta karena perceraian, baik itu cerai hidup maupun cerai mati.
Selain UU ini yang biasa disebut hukum
positif, ada juga hukum dan aturan perkawinan berdasarkan agama maupun adat
istiadat yang dianut oleh si pengantin. Hukum agama dan adat inilah yang
kemudian menjadi solusi bagi orang-orang yang ingin melakukan nikah siri.
Dalam hukum negara sendiri, suatu
pernikahan baru dianggap sah apabila tercatat di Kantor urusan agama bagi
penganut muslim, dan di kantor catatan sipil bagi yang non muslim. Jadi
orang-orang yang menikah secara siri ataupun diam-diam, mereka hanya sah
menikah secara agama ataupun adat, tidak didaftarkan di KUA atau kantor catatan
sipil dengan berbagai macam alasan.
Apa efeknya apabila pasangan menikah secara
siri? Efeknya pertama adalah bila sepasang pria dan wanita yang belum menikah
kemudian melakukan pernikahan siri dan memiliki anak, maka anak tersebut oleh
negara akan berstatus sebagai anak diluar nikah. Anak dengan status ini hanya
memiliki hak waris dari ayah biologisnya apabila si ayah di depan pengadilan
mengakui anak tersebut sebagai anaknya.
Bila keadaannya seorang laki-laki yang
sudah berkeluarga lalu memiliki istri muda yang dinikahi secara siri, maka bila
si istri muda tersebut melahirkan maka anaknya menurut hukum negara disebut
sebagai anak zina, yang efeknya adalah si anak tidak bisa menjadi ahli waris
dari bapak biologisnya, namun memiliki hak untuk dinafkahi.
Efek kedua adalah apabila terjadi
perceraian seperti yang dialami oleh pejabat tersebut, maka si istri secara
hukum negara tidak berhak untuk menuntut hak pembagian harta gono-gini, karena
pernikahan mereka oleh negara dianggap tidak pernah terjadi.
Kalaupun si mantan suami berbaik hati
memberikan sejumlah uang kepada mantan istrinya, itu hanya sekadar tali asih
ataupun sumbangan, yang besarnya mungkin tidak seberapa. Bandingkan dengan
seandainya pernikahan tersebut sah secara hukum negara, maka harta gono-gini
yang menjadi hak si istri adalah setengah dari kekayaan mereka setelah menikah.
Jadi sebenarnya masalah pembagian harta
gono-gini maupun harta warisan sebagai akibat dari adanya perkawinan akan bisa
lebih simpel apabila orang-orang yang terkait didalamnya dapat membuat
kesepakatan dalam pembagiannya hartanya. Undang-undang perkawinan tersebut baru
digunakan apabila tidak didapatkan ketidaksepakatan dan perselisihan dalam
pembagiannya.
Andy Nugroho, CFP
MRE Financial & Business Advisory
Jl. Musi no. 33, Cideng, Jakarta Pusat
twitter: @mreindonesia