Rabu, 03 Oktober 2012

Meredakan amarah pada anak kita

Bayi Sedang Marah.

Faidz, 3 tahun, langsung menangis keras dan bergulingan di lantai sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta.
Pasalnya, sang ibu tidak ingin membelikan Faidz pakaian dalam bergambar tokoh kartun Angry Bird. Faidz memang penggemar berat Angry Birds. Semua pernak-pernik yang bertema burung ngamuk itu selalu menarik perhatian Faidz. Bukan karena harganya yang mahal penyebab ibu Faidz tidak ingin membelikan pakaian dalam itu, melainkan stok barang yang tersedia hanya untuk anak-anak di atas 7 tahun dan remaja.
»Dari segi ukuran saja, Faidz tidak cukup, nanti siapa yang mau pakai?” ujar ibu Faidz, yang bernama Rahma, coba menjelaskan dan meredakan tangis anaknya saat itu. Bukannya mereda, tangis Faidz malah semakin kencang. Ia bahkan mengobrak-abrik seluruh pakaian dalam yang ada di dalam kotak pemajang.

»Tindakan anak saya itu jadi pusat perhatian orang-orang, malunya bukan main. Saya coba menenangkan, tapi malah semakin parah,” curhat Rahma dalam sebuah acara parenting di Graha Unilever seminggu lalu. Apa yang dialami Faidz disebut dengan temper tantrum atau ledakan kemarahan secara tiba-tiba pada anak tanpa terencana karena keinginan yang tidak terpenuhi. Biasanya temper tantrum terjadi pada anak usia 1-4 tahun. Ketika mengalami hal ini, anak cenderung melampiaskan kemarahannya. Bisa menangis keras, berteriak-teriak, menjerit, memukul, dan berbagai hal lain. Lalu, bagaimana cara efektif untuk meredakan amarah mereka? Psikolog keluarga dari Empati Development Center, Roslina Verauli, memaparkan, ada beberapa cara yang dapat dicoba untuk meredakan temper tantrum. Terutama pada anak-anak di usia 1-4 tahun yang sedang dalam fase keras kepala.

»Pertama, jangan pernah memberikan janji, apalagi janji palsu,” ujar psikolog yang biasa dipanggil Vera ini. Menurut Roslina, tindakan meredakan amarah anak dengan memberikan janji sama saja memberikan kesempatan bagi anak mengulangi perbuatannya demi mendapatkan yang diinginkan.

»Kedua adalah memeluk anak, tapi jangan dari depan,” kata Roslina. Memeluk anak dari depan saat anak sedang marah sama saja menularkan bencana pada diri orang tua atau orang dewasa yang ada di sekitarnya. Sebab, anak yang sedang marah akan merampas apa saja yang ada di depannya.

»Apalagi Anda yang mengenakan jilbab dengan bros atau Anda yang mengenakan kacamata, berbahaya. Selain bisa melukai si kecil, juga bisa melukai Anda sendiri.” Setelah dipeluk, biasanya kemarahan anak akan mereda. Menurut dia, inilah saatnya bagi orang tua untuk menatap mata anak. Biasanya, anak yang marah enggan menatap mata orang tua karena tahu apa yang dilakukannya salah. Anak yang sedang marah adalah anak yang manipulatif.

»Tidak heran mereka akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, termasuk tidak mau menatap mata ketika berbicara,” ujar dia. Bila anak Anda tidak juga tenang, Roslina menyarankan untuk meninggalkan mereka sejenak. Lama waktu meninggalkan anak bergantung pada umur dan sejauh mana sikap keras kepala mereka. Bagi anak berusia 1-3 tahun, orang tua cukup meninggalkan anak 1-3 menit saja. Sedangkan bagi anak 4-5 tahun bisa ditinggalkan sekitar 2-4 menit.

»Ingat, jangan kelamaan, karena kalau kelamaan bisa terbentuk mindset di kepala mereka bahwa orang tua mereka adalah orang tua yang kejam,” kata Roslina. Karena itu, tindakan meninggalkan kemudian memeluk anak saat tangisnya tidak reda harus diulangi berkali-kali dan berjam-jam.

»Pokoknya peluk lagi setelah ditinggal.” Memang, dalam menenangkan anak, orang tua dituntut memiliki kesabaran tingkat tinggi. Apalagi anak yang memiliki super-ego. Anak dengan jenis ego ini bisa menghabiskan waktu awal sekitar setengah jam hanya untuk menenangkannya.

»Ini karena anak super-ego tidak mudah runtuh harga dirinya. Terus bagaimana? Ulangi lagi terus begitu, capek, ya? Memang harus begitu jadi orang tua,” ujar dia. Terakhir, setelah anak tenang dan sudah mau mengikuti apa yang Anda katakan, wajib bagi orang tua memberikan balasan dengan cinta. Vera mencontohkan, bisa diucapkan kata-kata »good girl ”, »anak mama oke banget”, »i love you”, dan semua kata-kata yang menghargai upaya anak. Roslina pun menegaskan, setelah kejadian berlalu, jangan pernah mengungkit lagi di hadapan anak, bahkan ketika ada kejadian lain yang terjadi. Begitu pula ketika Anda sudah merasa kesal dan tak tahu upaya lain yang ditempuh, jangan sekalipun membandingkan anak dengan temannya atau anak lain.

»Yang dibutuhkan adalah perbandingan anak dengan dirinya sendiri,” katanya.

Sumber: www.tempo.co