Rabu, 24 Oktober 2012

Salah Kaprah Tangani Diare Akibat Keracunan

Dalam sehari, lebih dari lima kali gadis 17 tahun ini buang air besar yang hanya berupa cairan. Nadya mengalami diare. Ia menduga diare terjadi karena salah makan atau keracunan makanan. Selain mulas, ia juga mengalami mual dan muntah. Saat diare pertama kali, Hanum langsung menenggak susu tanpa rasa sebanyak dua gelas. Namun, satu jam setelah itu, diarenya masih terjadi dan kunjung mampet.
"Lemas sekali rasanya," kata Hanum saat ditemui Tempo di sela-sela workshop Emergency Fair and Festival di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sabtu lalu. Siswi sekolah menengah atas di Jakarta Timur ini mengaku minum susu dua gelas karena anjuran ibunya. Pertimbangannya sangat masuk akal. Alasannya, susu bisa menggantikan cairan tubuh Hanum yang banyak keluar akibat diare. Lantaran anjuran itu tak mempan, akhirnya Hanum terpaksa dibawa ke dokter. Saat itulah, orang tua Hanum tahu bahwa anjurannya salah. Menurut dokter, susu justru tidak boleh diberikan kepada penderita diare.
Ari Fahrial Syam, dokter spesialis gastroenterologi Departemen Penyakit Dalam, FKUI-Rumah Sakit Ciptomangunkusumo mengakui salah kaprah dalam penanganan diare akibat keracunan makanan memang masih banyak terjadi, seperti dialami Hanum. Hal itu terjadi karena ada salah persepsi, termasuk anggapan bahwa keracunan dan kekurangan cairan akibat diare dapat diatasi dengan minum susu. Padahal, tindakan itu justru tidak boleh. "Pertolongan pertama tetap pemberian oralit," kata Ari, salah satu pembicara dalam workshop.
Jika pemberian oralit tidak membantu, maka langkah terbaik adalah memeriksakan diri ke dokter. Apalagi jika penyebab keracunann yang memicu diare tidak diketahui Meskipun susu berkhasiat untuk menetralisir racun, menurut Ari, minuman ini sulit dicerna alat pencernaan karena mengandung lemak. Walhasil, bukannya membantu, pemberian susu justru bisa memperparah keadaan orang yang mengalami diare.
Dalam keadaan normal, alat pencernaan dalam tubuh mampu mencerna makanan dengan baik. Setelah makanan masuk, makanan tersebut dihancurkan dan diolah sehingga menjadi sari makanan yang diangkut oleh darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Adapun ampasnya akan dibuang berupa feses atau tinja. Proses ini terganggu jika terjadi keracunan akibat makanan. “Salah satu bagian dari mekanisme tubuh yang baik adalah bereaksi terhadap racun dengan cara mengeluarkannya melalui feses. Inilah yang menyebabkan diare,” ujar Ari.
Oleh sebab itu, ia meminta penderita diare agar tidak panik, apalagi melakukan tindakan penanganan yang belum tentu benar, termasuk minum susu. Menurut Ari, diare akibat keracunan bisa dipicu oleh beberapa jenis bakteri yang ada pada makanan atau minuman. Antara lain, bakteri Vibrio cholerae pada ikan dan Escherichia coli pada air. Juga ada bakteri Enterohemorrhagic yang dapat menyebabkan diare disertai demam, mual muntah dan nyeri perut. Bakteri jenis ini biasanya berkembang biak dengan baik pada daging sapi panggang, susu mentah, dan sayuran mentah.
Penanganan diare yang tepat bisa mencegah dampak lanjutan penyakit ini, termasuk kemungkinan terjadinya dehidrasi. Gejala dehidrasi, antara lain, lidah kering, dilanda kehausan, kesadaran menurun, badan dingin, nafas cepat dan dalam, lemas, dan sakit kepala.
Yang patut diwaspadai, dehidrasi juga bisa membuat penderitanya pingsan. Ari mengingatkan, jika pertolongan pertama dengan oralit, plus makan seperti biasa, kondisi pasien belum juga membaik, maka perlu dirujuk ke dokter atau rumah sakit. Penanganannya, antara lain, pasien akan mendapat cairan pengganti tubuh yang dimasukkan lewat infus.

Sumber: tempo.co