Olah Raga Menyehatkan Badan. |
Olahraga yang seharusnya menyehatkan ternyata justru membawa petaka. Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus, dimana terjadi kematian mendadak pada saat seseorang berolahraga. Lalu, apa sebenarnya yang memicu kematian mendadak tersebut?
Ketua Tim Klinik Olahraga (Sport Clinic) Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Achmad Sjarwani, menyatakan, masalahnya bukan pada olahraga yang dilakukan. Dari sejumlah kasus kematian mendadak usai berolahraga, termasuk beberapa atlet, kondisi itu terjadi pada mereka yang tidak rutin berolahraga, perubahan jenis olahraga dari olahraga yang menjadi kebiasaannya, beban olahraga yang terlalu berat dibanding usia, dan berat badan.
”Tidak ada jaminan bagi mereka yang aktif berolahraga, termasuk para atlet, akan terbebas dari semua penyakit,” katanya. Demikian pula tubuh yang terlihat bugar dan langsing.
Menurut Sjarwani, saat berumur 20-30 tahun, seseorang masih bisa berolahraga apa pun karena tubuhnya masih lentur dan belum muncul tanda-tanda penyakit degeneratif. ”Saat usia menginjak 35 tahun, orang harus mulai waspada,” katanya.
Serangan jantung Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita yang juga dosen Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular (KKV), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Hananto Andriantoro, memaparkan, serangan jantung mendadak yang menyebabkan kematian terjadi akibat penyempitan pembuluh darah koroner yang membuat jantung tak berfungsi.
Penyempitan itu terjadi karena adanya plak, yaitu timbunan lemak di dinding pembuluh darah. Saat berolahraga, tubuh seseorang kekurangan cairan. Akibatnya, darah dalam tubuh mengental. Kentalnya darah memicu terjadi penggumpalan darah. ”Kalau pembuluh koroner seseorang baik, pengentalan darah tidak masalah,” katanya. Ketika berolahraga atau dalam kondisi stres, tekanan darah, denyut jantung, dan aliran darah di koroner juga akan meningkat. Meningkatnya kecepatan aliran darah itu memicu terjadinya gaya gesek yang mengiris dinding pembuluh darah. Akibatnya, plak lunak dalam pembuluh koroner pecah. Pecahnya plak memicu keluarnya lemak yang mendorong semakin mudahnya penggumpalan darah yang akan menyumbat aliran darah. Bila penyumbatan terjadi di pembuluh darah koroner, otot jantung akan kekurangan oksigen secara tiba-tiba. Akibatnya, jantung mengalami kerusakan mendadak dan gagal memompa darah ke seluruh tubuh. Kekurangan oksigen juga terjadi pada aliran darah menuju otak. Akibatnya, korban kehilangan kesadaran atau kejang.
Kepala Unit Pelayanan Fungsional Diagnostik Invasif dan Intervensi Non-Bedah RSJPD Harapan Kita yang juga dosen Divisi Aritmia Departemen KKV, FK-UI, Yoga Yuniadi, mengatakan, 80 persen kasus meninggal mendadak akibat henti jantung disebabkan oleh denyut jantung yang sangat cepat. Hanya 5-10 persen kasus yang disebabkan oleh denyut jantung yang melemah. ”Upaya memaksa batuk-batuk hanya menolong untuk korban yang denyut jantungnya melemah,” katanya. Karena itu, pertolongan pertama henti jantung adalah dengan memukul bagian bawah dada dengan kepalan tangan di bagian dekat kelingking. Pukulan itu dapat menormalkan denyut jantung yang terlalu cepat. Jika cara itu tidak berhasil, dilakukan resusitasi atau penekanan dada yang diselingi dengan pemberian napas buatan setiap lima kali tekanan. Pada saat yang sama, korban harus dilarikan ke rumah sakit. ”Korban hanya punya waktu empat menit untuk segera ditangani dokter,” katanya.
Pertolongan pertama itu hanya untuk menyelamatkan jantung korban. Jika empat menit sejak serangan sesak napas tidak ada pertolongan pertama, bisa berisiko terjadi kerusakan otak akibat terhentinya pasokan darah dan oksigen ke otak. Yoga menambahkan, risiko kematian mendadak akibat henti jantung dapat dihindarkan. Rasa nyeri di dada yang muncul akibat kelelahan dan hilang setelah beristirahat adalah tanda- tanda awal penyakit jantung koroner. Karena kondisi fisik setiap orang tidak sama, jenis olahraga yang dianjurkan juga berbeda.
Guru Besar FK-UI yang juga dokter spesialis jantung dan pembuluh darah RSJPD Harapan Kita, Budhi Setianto Purwowiyoto, mengatakan, olahraga yang dilakukan seseorang perlu terukur dan teratur, bukan asal berkeringat. Terukur, karena kondisi fisik setiap orang berbeda-beda, termasuk potensi penyakit yang kemungkinan diderita, riwayat penyakit sebelumnya, serta penyakit yang dialami keluarga satu generasi sebelumnya. Untuk itu, deteksi dini penyakit perlu dilakukan saat usia mulai menginjak 35 tahun. Semua perlu dicek, mulai dari kinerja jantung, pembuluh darah, tekanan darah, hingga ginjal. Mereka yang memiliki keturunan penyakit jantung, minimal satu generasi di atasnya, perlu kewaspadaan ekstra. Pria lebih rentan terhadap penyakit jantung dibandingkan wanita. Namun, wanita yang telah menopause memiliki risiko sama dengan pria terkait gangguan jantung dan pembuluh darah. ”Saat jenis penyakit diketahui, maka pencegahan harus segara dilakukan. Selanjutnya, jenis olahraga yang sesuai dapat ditentukan,” katanya.
Pada orang berusia di atas 40 tahun, jenis olahraga yang dipilih seharusnya bukan yang bersifat kompetitif, membutuhkan tenaga besar dan waktu lama, khususnya bagi mereka yang tidak terlatih. Olahraga yang baik adalah yang bersifat aerobik, seperti joging, jalan cepat, bersepeda, atau berenang. Untuk menjaga kesehatan jantung, Budhi mengingatkan pentingnya menjaga gizi seimbang, berhenti merokok, dan menghindari stres atau menangani dengan baik. Selain itu, tekanan darah, kadar kolesterol darah, gula darah, berat badan, dan lingkar perut harus diawasi saksama.